oleh : Laras Rizki Utami
Seorang remaja sedang asyik dengan gawainya. Di roomchat whatsapp, tepatnya di kolom panggilan video, ia nampak sedang bercengkrama dengan salah satu temannya. Memakai seragam abu-abu putih dan tak lupa masker yang selalu menempel di wajahnya, ke mana pun ia pergi. Candaan dari hati ke hati terdengar renyah mengalir begitu saja. Seakan keduanya menyimpan rindu untuk bertemu.
Remaja itu adalah Bagas, siswa kelas XI di SMA N 1 Sentolo. Ia anak ke-2 dari dua bersaudara. Orang tuanya seorang fotografer, membuat ia memiliki kelebihan di dalam bidang tersebut. Hobi traveling dan edit video adalah makanannya di waktu luang. Bagas tinggal di wilayah Kulon Progo bagian Utara dimana sebagian besar bentuk tanahnya berupa perbukitan. Namun karena rumahnya berada di pinggir jalan, suasananya sudah cukup ramai, mirip sebuah kota kecil.
Jarak rumahnya dengan sekolahan relatif jauh, sekitar empat belas km. Jarak itu ia tempuh sekitar dua puluh hingga tiga puluh menit dengan menggunakan sepeda motor kesayangannya. Agar tidak terlalu ngebut di jalan, Bagas selalu berangkat ke sekolah lebih awal daripada teman-temannya. Pada kisaran pukul enam pagi, Bagas sudah siap meluncur dari rumahnya menuju sekolahan. Melewati jalan perbukitan dengan berteman kabut pagi mengisi rutinitas hari-harinya selama setahun ini.
Namun, semua itu berubah ketika tiba di pertengahan bulan Maret. Saat memasuki semester ke-2, segala kegiatan pembelajaran dilakukan dari rumah atau pembelajaran jarak jauh (PJJ). Yah, semua itu karena dampak adanya pandemi Covid-19. Seiring berjalannya waktu Bagas mulai bercerita keluh kesah yang ia rasakan selama pembelajaran dari rumah. Lewat telepon, ia menceritakan tentang kesulitannya dalam memahami materi pelajaran. Bahkan ia sempat merasa putus asa dengan model pembelajaran dari rumah.
Rasa putus asa tersebut membuat Bagas rindu model pembelajaran yang dulu. Pembelajaran tatap muka yang bisa mempertemukannya dengan bapak ibu guru dan teman-temannya di sekolah. Bertatap muka dengan bapak ibu guru akan membuatnya langsung bisa menanyakan jika ada materi pelajaran yang belum dipahami. Begitu juga bertemu dengan teman-temannya di sekolah, selain bisa bersenda gurau, ia bisa berbagi kesulitan dalam memahmi pelajaran. Sungguh merupakan suasana yang ia rindukan selama berbulan-bulan ini.
Model pembelajaran tatap muka agaknya lebih sesuai bagi siswa seperti Bagas. Ia memang kurang begitu cepat memahami berbagai materi pelajaran. Namun demikian, dengan model pembelajaran tatap muka, termasuk bisa belajar kelompok dengan teman-temannya, ada semangat membara untuk terus belajar. Nah, semangat itulah yang lambat laun membuatnya dapat memahami materi, meski sulit sekalipun. Disamping itu, hobinya pada fotografi dan olahraga dapat tersalurkan dengan baik jika ada pembelajaran tatap muka.
Model pembelajaran tatap muka juga terbukti lebih efektif menguatkan solidaritas antar siswa. Hal ini terlihat ketika teman-teman Bagas terus memberi motovtasi padanya. Mulai dari mengerjakan tugas bersama, tanya jawab seputar materi pelajaran, atau berdiskusi bagaimana cara efektif dalam belajar. Hal itu dilakukan teman-temannya untuk mensupport Bagas. Dirangkul ketika susah, diarahkan saat jalannya salah. Bahkan, dibangkitkan ketika saat hendak menyerah. Itulah prinsip persahabatan yang mereka bangun untuk menguatkan solidaritas.
Suasana belajar seperti itulah yang dirindukan Bagas. Dan kerinduan itu sepertinya akan segera terwujud. Di whatsapp group sekolahan, ia mendapati informasi bahwa SMAN 1 Sentolo akan mengadakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas. Ia sudah tak sabar menantikan saat itu tiba. Ia juga tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang selama ini ia rindukan itu.
Pagi itu, tepatnya tanggal 19 April 2021 mimpinya benar-benar terwujud. Kelasnya mendapatkan giliran untuk melaksanakan PTM terbatas, Bagas sangat bersemangat sekali. Ini hari pertama ia masuk sekolah setelah berbulan-bulan hanya belajar secara daring. Sebagaimana pernah ia lakukan tahun lalu, di pagi itu ia kembali menyusuri perbukitan di wilayah Kulon Progo bagian Utara menuju menuju sekolahannya: kampus SMA N 1 Sentolo tercinta.
Sesampainya di sekolah, Bagas tidak sabar ingin bertemu dengan ibu bapak guru dan teman-temannya. Garis-garis hijau penunjuk arah menuju kelasnya ia lalui dengan hati riang.Namun, keriangan hatinya tak membuatnya lupa akan protokol kesehatan (prokes) yang diterapkan di sekolah. Di dekat parkiran, ia langsung mencuci tangan dengan sabun pada sebuah wastafel yang telah disediakan. Kemudian saat akan memasuki ruangan, ia melaporkan suhu badan kepada guru yang berjaga. Lalu di dalam kelas duduk di kursi dengan jarak yang telah ditentukan.
Tiba saatnya sang guru memberikan pemaparan materi pelajaran, dengan seksama Bagas memperhatikan semua penjelasan yang diberikam guru, tak lupa juga ia membuat catatan kecil. ” Wahh… Sungguh aku rindu sekali dengan suasana kelas kita ” ujar Bagas. Namun, waktu telah Bagas lalui sampai saatnya mereka sampai di penghujung waktu pembelajaran, saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula Bagas, kini perasaannya kian terobati dan berangsur-angsur membaik ketika diadakannya PTM terbatas ini.
Ternyata PTM terbatas hanya berlangsung sekitar 3 minggu. Hal ini karena minggu ke-2 bulan Mei sekolah kembali menerapkan pembelajaran model daring atau PJJ. Merebaknya kembali kasus terpapar Covid-19 di Kulon Progo (dan beberapa wilayah yang ada di Indonesia) membuat pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4. Sekolah pun tak diperkenankan mengadakan PTM terbatas.
Dengan kembali menerapkan model pembalajaran daring, Bagas hanya mengandalkan diskusi intensif lewat whatsapp group, sambil berharap PPKM akan segera berakhir dan ia bisa berkumpul bertemu langsung dengan bapak ibu guru dan teman-temannya. Suasana berkumpul itulah yang bisa menguatkan solidaritas antar siswa. Solidaritas adalah magnet yang tak kasat mata, namun berdampak nyata pada keberhasilan belajar siswa.